Polemik Tapera, Menkeu Akhirnya Angkat Suara

By Admin


JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani Indrawati akhirnya angkat suara secara gamblang soal polemik tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang potongannya dikeluhkan masyarakat dan pengusaha, yakni sebesar 2,5% dari gaji, dan 0,5% ditanggung pemberi kerja.

Sri Mulyani menjelaskan persoalan Tapera itu saat ditanya oleh Anggota DPD Casytha Arriwi Kathmandu. Saat rapat kerja dengan Sri Mulyani, Casytha mengatakan bahwa kebijakan Tapera itu sangat memberatkan masyarakat karena memangkas pendapatannya saat banyaknya beban potongan gaji.

Pajak yang ditanggung pengusaha sudah banyak ditanggung pekerja, sudah banyak, tambah tapera 3%, pengusaha 0,5% dan pekerja 2,5%, artinya cost lagi," kata Casytha kepada Sri Mulyani saat rapat kerja di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (11/6/2024).

Merespons hal itu, Sri Mulyani yang juga menjabat sebagai Anggota Komite BP Tapera mengakui bahwa memang pendapatan masyarakat telah banyak terkena beban-beban berbagai potongan, seperti pajak. Namun, ia menekankan bahwa kebijakan itu semata untuk memberi kemudahan masyarakat untuk membeli rumah, sebab APBN kata dia telah ikut hadir dalam program itu.

"Jadi kami ingin tekankan, saya memahami beban-beban yang ada dan oleh karena itu APBN ingin kurangi beban masyarakat melalui berbagai cara dari sisi perumahan," ucap Sri Mulyani.

Pemerintah juga telah membantu beban biaya yang ditanggung masyarakat itu melalui pembayaran bantuan iuran BPJS Kesehatan, maupun dengan berbagai macam subsidi yang diberikan termasuk bantuan sosial atau bansos.

"Tentu tidak cukup, ada masyarakat merasa yang dapat mereka tapi saya enggak dapat dan kurang dari yang mereka butuhkan, makanya APBN perlu diperkuat untuk membantu terutama masyarakat tidak mampu," tegasnya.

Sri Mulyani mengakui, memang perlu ada kebijakan khusus yang membuat harga rumah di Indonesia itu tidak terus menerus naik hingga semakin sulit terjangkau. Apalagi, jenis rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR juga kini semakin tinggi.

"Memang masih ada kebijakan yang harus diimprove yaitu harga dari rumah itu sendiri dan yang disebut kriteria MBR yang Rp 8 juta mungkin kita perlu, karena harga rumah bisa naik menjadi Rp 300 juta dari sekarang itu sekitar Rp 160-170 juta," tutur Sri Mulyani.

Terlepas dari itu, Sri Mulyani menekankan, dalam membantu keterjangkauan harga rumah sebetulnya APBN telah ikut berkontribusi melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), hingga KPR bersubsidi.

Ia mengatakan, setidaknya sudah Rp 228,9 triliun dana dari APBN yang terkucur untuk membantu masyarakat memperoleh rumah melalui skema bantuan kepemilikan rumah itu. Mulai dari 2015 pemerintah mengucurkan dana dari APBN sebesar Rp 13,3 triliun untuk pembangunan rumah susun hingga dana bergulir di FLPP yang senilai Rp 5,1 triliun dan saat ini sudah terus bertambah hingga Rp 105 triliun dan kini menjadi Rp 167 triliun untuk membantu MBR punya rumah.

Lalu, pada 2016 APBN kata dia juga melalui kombinasi bantuan uang muka hingga subsidi suku bunga itu telah terkucur Rp 15,25 triliun dari APBN, pada 2017 menjadi Rp 18 triliun, dan pada 2019 sebesar Rp 18,81 triliun. Pada 2020 dinaikkan menjadi Rp 24,19 triliun, dan pada saat Covid-19 pada 2021 ia mengatakan, dana bantuannya ditambah lagi menjadi Rp 28,95 triliun.

Pada 2022 pun juga telah dinaikkan menjadi Rp 34,15 triliun, pada 2024 menjadi Rp 31,88 triliun, dan pada 2024 sebesar Rp 28,25 triliun. "Jadi total kehadiran APBN untuk bantu sektor perumahan terutama MBR dari 2015 hingga 2024 itu sudah Rp 228,9 triliun," ucap Sri Mulyani.

"Sangat besar kalaupun mau dibanding 3% yang disampaikan Bu Casytha menurut mereka akan kumpulkan sampai Rp 50 triliun sampai 10 tahun mendatang apabila dilaksanakan, APBN sebetulnya sudah melaksanakan dan dana ini tidak akan hilang," tegas Sri Mulyani. (*)